Oleh: Syamsuddin Ramadhan
Pertama, dugaan bukanlah dalil syara’. Bila syara’ telah menetapkan bolehnya melihat gambar porno, berarti hukum melihatnya tetap mubah. Jika, melihat gambar porno itu menimbulkan dampak-dampak buruk, maka berlaku kaedah “Al-wasilatu ilal haram muharram”. Namun, kaedah ini hanya berlaku bagi orang yang akan mendapatkan dampak buruk, atau terdorong berbuat keji, setelah melihat gambar porno. Tapi, tidak berlaku umum bagi orang yang tidak terdorong untuk berbuat keji.
Kedua. Bila seseorang terbersit niat keji –tatkala melihat gambar porno— Itupun juga tidak berdosa, selama dia tidak mengerjakan niat keji itu. Rasulullah saw telah menyatakan, bahwa jika seorang berniat melakukan kemungkaran, kemudian ia tidak mengerjakan apa yang diniatkannya itu, maka ia tidak mendapatkan dosa. Dia akan mendapatkan dosa tatkala ia mengerjakan niat buruknya itu. Ketiga, hukum melihat gambar porno tidak ubahnya dengan hukum melihat tayangan televisi. Di televisi kita, hampir-hampir tidak ada satupun acara yang tidak mengetengahkan adegan porno. Presenter wanita yang tidak mengenakan kerudung dan jilbab, sudah terkategori membuka aurat alias porno. Demikian juga dengan tayangan film, sinetron, dan lain sebagai. Seandainya para pengkritik pendapat yang membolehkan melihat gambar porno konsisten dengan pendapatnya, tentu ia harus menjauhi dari aktivitas menonton televisi. Pasalnya, televisi tersebut menayangkan gambar-gambar porno! » MUBAH (Suatu perbuatan yang apabila dikerjakan atauditinggalkan sama saja tidak mendapat pahala atau siksa)