Saya sering bertemu dengan orangtua yang konsultasi tentang anak. Umumnya orangtua mengeluhkan tentang anak mereka yang tidak disiplin.
Sebagai terapis saya perlu mendapat informasi akurat mengenai "disiplin" yang mereka maksudkan. Saya bertanya, "Bisa jelaskan apa yang Bapak/Ibu maksudkan dengan anak tidak disiplin?"
"Anak kami kalau pulang sekolah, tas dan sepatu diletakkan sembarangan. Trus... kalau sudah jamnya belajar dia tidak belajar eh.. malah asyik main game. Waktunya makan ia malah nonton tv. Waktunya les... dia suka telat. Dan kalau mandi... susahnya minta ampun. Harus disuruh berkali-kali baru mau mandi," jawab mereka.
"Apakah perilaku ini rutin anak lakukan atau hanya sekali-kali?" tanya saya.
"Ini setiap hari Pak. Kami sudah capek sekali. Nggak tahu harus bagaimana lagi supaya anak kita bisa disiplin," jawab si Ibu.
"Bu, saya koreksi sedikit ya. Ibu tadi menggunakan kata "anak kita". Yang benar adalah "anak kami". Kalau "kita" berarti saya juga punya andil lho. Nanti Bapak bisa marah", jawab saya sambil tersenyum.
Si Ibu langsung merah mukanya dan sambil tertawa, "Maaf Pak Adi. Maksudnya akan kami, bukan anak kita."
Si Bapak yang mendengar guyonan saya juga tertawa. Ini salah satu cara saya untuk mencairkan suasana dan sekaligus mengajari klien menggunakan semantik yang tepat.
"Selamat ya... untuk Bapak dan Ibu yang telah berhasil membuat anak disiplin," ujar saya lagi.
"Lho, disiplin bagaimana toh Pak. Anak kami ini tidak disiplin," jawab si Ayah.
Salah satu makna kata "disiplin" menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah ketaatan (kepatuhan) kepada peraturan (tata tertib dsb). Untuk bisa taat maka anak perlu dibiasakan atau dilatih sejak dini.
Yang biasanya terjadi adalah orangtua berharap anak bisa mengerti dan dengan sendirinya taat pada aturan di rumah. Sayangnya orangtua jarang yang memberi penjelasan detil, baik melalui ucapan dan terutama teladan mereka, peraturan apa saja yang berlaku di rumah.
Selain itu, disiplin mengandung makna konsistensi. Artinya kita melakukan sesuatu secara ajeg, berkelanjutan. Saya memberi selamat kepada kedua klien saya karena mereka telah berhasil membuat anak mereka disiplin melakukan hal-hal yang mereka tidak inginkan. Anak mereka disiplin main game, disiplin tidak mau belajar, disiplin meletakkan barang sembarangan, disiplin sulit mandi, disiplin telat, dll.
Bila dilihat dari sudut pandang mereka sebagai orangtua maka anaknya disiplin untuk tidak disiplin.
Bila anak bisa disiplin tidak disiplin maka orangtua seharusnya, dengan menerapkan pola asuh yang berbeda, pasti akan mampu membuat anak disiplin untuk disiplin seperti yang mereka inginkan dan harapkan.
Disiplin sebenarnya adalah kebiasaan atau habit. Kebiasaan muncul secara alamiah, bisa melalui proses pembiasaan atau pembiaran. Pembiasaan ini bisa positif, bisa negatif.
Ada anak yang dibiasakan belajar pada jam belajar, makan pada jam makan, meletakkan sepatu, tas, dan barang lain pada tempatnya, tidur pada jam tidur, memberi hormat pada yang lebih tua, dll. Ini adalah pembiasaan positif.
Sebaliknya ada juga anak yang dibiasakan untuk semaunya sendiri, tidak teratur, tidak mau belajar, bersikap kasar, mengucapkan kata-kata yang tidak pantas, tidur tengah malam, dll. Ini adalah pembiasaan negatif atau pembiaran.
Ibarat pohon, saat dalam proses bertumbuh orangtua perlu menjaga dan mengarahkan arah tumbuh pohon. Benar, akarnya pasti akan ke bawah, ke dalam tanah. Namun batang pohon belum tentu selamanya akan lurus ke atas. Seringkali kita temui ada batang pohon yang tumbuh dalam posisi miring. Saat pohon masih kecil kita dapat meluruskan batangnya. Namun bila pohon sudah besar, batang yang miring ini sangat sulit atau tidak lagi bisa diluruskan. Arah tumbuh batang pohon ini adalah karakter atau kepribadian anak.
Jadi, pesan saya, sebagai orangtua kita perlu aktif dan proaktif memberikan pendidikan yang baik kepada anak terutama melalui interaksi bermakna dengan mereka. Berikan teladan yang patut ditiru. Anak belajar lebih banyak dari melihat apa yang orangtua lakukan daripada mendengar apa yang orangtua sampaikan.
Sulitnya, di masa yang serba instan ini, banyak orangtua yang tidak sabar atau bersedia menjalani prosesnya. Mereka lebih memilih sibuk berkarir atau bekerja dan proses pendidikan anak diserahkan kepada pembantu atau pengasuh di rumah.
Biasanya, setelah anak "bermasalah" barulah orangtua sibuk mencari solusi. Namun yang selalu "disalahkan" adalah anak karena memang anaknya "bermasalah".
Sebenarnya yang bermasalah adalah orangtuanya. Merekalah yang butuh konseling dan terapi, bukan anaknya. Mengapa? Karena apapun yang terjadi pada anak ini semata adalah cerminan kualitas kedua orangtuanya.
Bagaimana menurut Anda?