(Ceramah Gus Mus Sesudah Tahlilan Mbah Zainal)
[Malam Selasa, 17 Februari 2014 M./16 Robi’uts-Tsani 1435 H.]
Malam ini kita membacakan tahlil dan mendoakan almarhum KH. Zainal Abidin Munawwir. Kita itu koyok yo yo’o. Potongane (gayanya) seperti saya dan panjenengan, berani-beraninya mendoakan Kiai Zainal. Ya, kita semua sesungguhnya hanya mengharap barokah dari beliau.
Meski saya bukan wali, tapi saya meyakini Kiai Zainal itu adalah wali. Karena seperti terdapat dalam al-Qur`an, ciri wali itu tidak punya rasa takut dan tidak punya susah. Lha saya belum pernah tahu Kiai Zainal itu punya rasa takut dan susah.
أَلاَ إِنَّ أَوْلِيَاءَ اللهِ لاَ خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلاَ هُمْ يَحْزَنُوْنَ
(Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.)
Sebenarnya panjenengan itu juga bisa jadi wali, wong panjenengan sudah memiliki salah satu syaratnya. Padahal syarat menjadi wali cuma dua. Panjenengan semua sudah punya satu, yaitu mengakui bahwa Gusti Pangeran itu hanyalah Allah Ta’ala.
إِنَّ الَّذِيْنَ قَالُوْا رَبُّنَا اللهُ، ثُمَّ اسْتَقَامُوْا فَلاَ خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلاَ هُمْ يَحْزَنُوْنَ
(Sesungguhnya orang2 yg mengatakan: "Tuhan kami ialah Allah", kemudian mereka tetap istiqamah, maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan mereka tiada (pula) berduka cita.)
Jadi syarat yg pertama, menyatakan bahwa Tuhannya adalah Allah (قالوا ربنا الله), yg kedua adalah istiqomah (ثم استقاموا). Untuk jadi wali seperti Kiai Zainal, panjenengan kurang satu syarat saja, yaitu istiqomah. Syarat istiqomah ini memang yg paling sulit. Panjenengan menyaksikan sendiri bagaimana Kiai Zainal dalam keadaan gerah masih berangkat ngimami di masjid dan tetap memikirkan santri. Sementara banyak orang yg mau sholat, tapi jarang yg sholatnya bisa istiqomah; orang yg mau mengajar juga banyak, tapi yg mengajar dengan istiqomah itu jarang; banyak yg bisa memperhatikan anaknya orang, tapi yg memperhatikan anak orang secara terus-menerus itu sedikit sekali. Istiqomah itu yg berat.
Saya itu ada gunung meletus tidak begitu kaget, meskipun abunya sampai Jogja. Tapi saya kaget mendengar kiai2 wafat, Kiai Sahal Mahfudz kemudian menyusul Kiai Zainal. Gusti Allah itu, sebagaimana sabda Nabi Muhammad shallallahu ‘alayhi wasallam, bila mengambil ilmuNya, tidak dengan cara mencabut ilmu itu dari dada para ulama (إن الله لا يَنْتَزِعُ العلم انتزاعا من صدور العلماء), akan tetapi (بقبض العلماء) Allah mengambil ilmuNya dengan cara mewafatkan ulama: Kiai Munawwir dipundut nyawanya, sekaligus diambil ilmunya; Kiai Abdullah dipundut beserta ilmunya; Kiai Abdul Qodir dipundut beserta ilmunya; Kiai Ali Maksum dipundut beserta ilmunya; Kiai Warsun dipundut beserta ilmya; Kiai Zainal dipundut beserta ilmunya…
حتى إذا لم يَبْقَ عالم، وفي رواية: حتى إذا لم يُبْقِ عالما، اتخذ الناس رؤوسا جهالا فسئلوا فأفتوا بغير علم فضلوا وأضلوا – أو كما قال رسول الله صلى الله عليه وسلم
Kalau kiai2 sudah pada diambil, orang2 bingung harus bertanya kepada siapa. Mereka kemudian bertanya kepada orang sembarangan: pokoknya asal orang pakai sorban; asal jenggotan; asal jubahan; dipanggil kiai; dipanggil ustadz; pasti akan ditanya… (فأفتوا بغير علم) maka mereka menjawab tanpa ilmu, (فضلوا وأضلوا) jadinya mereka sesat dan menyesatkan orang lain. Ini semua sekarang sudah kelihatan tanda2nya: banyak mufti jadi2an, yg ditanya apa saja bisa menjawab. Padahal yg begitu itu tanda2nya gebleq, bukan tanda orang yg alim. Tandanya orang bodoh itu adalah bila ditanya apa saja, bisa menjawab. Ditanya: “Bagaimana hukumnya ayam yg ketabrak mobil, ustadz?”
“Itu ayamnya masih hangat apa tidak?”
“Masih agak hangat, ustadz”
“Kalau masih agak hangat berarti agak halal…”
Sampeyan kalau mau tahu silahkan buka televisi... Ukuran jawabannya asal bisa dinalar saja…
Ada juga dikatakan: (موت العالِم موت العالَم). Pada masa ini yg sulit itu adalah mencari contoh (: teladan). Islam itu kekurangan contoh. Oleh sebab itu wajah Islam kelihatan jelek, karena kurang contoh. Yg dijadikan contoh yg jelek2. Sampeyan lihat Youtube, ada bocah edan pakai jubah, menginjak kepala… Yg begini ini yg merusak. Kalau ditanya: bagaimana baiknya, maka jawabnya: baiknya mandeg saja, gak usah lagi… Ini merusak Islam. Orang Islam saja melihatnya jijik dan muak, apalagi orang lain... Ustadze wae nggono opo maneh santrine…
Lha di (Krapyak) sini ini sudah banyak contoh. Ada Kiai Abdul Qodir, ada Kiai Ali... Kalau mau yg agak ampeg, ada Kiai Zainal. Kalau mau contoh yg gampangan, ada Kiai Ali. Ada semua contohnya. Orang itu kan macam2. Ada yg maunya ampeg, ada yg maunya enteng. Dan yg seperti ini sudah ada sejak zaman Kanjeng Nabi Muhammad shallallahu ‘alayhi wasallam. Santrinya macam2, ada yg seperti Abu Bakar, ada yg seperti Umar. Sahabat Umar itu contoh sahabat sangat berhati2. Hingga terhadap teman dan saudaranya sendiri saja keras, hingga Sahabat Kholid aja dipecat (dari jabatannya sebagai Komandan Tentara). Sahabat Abu Bakar lain, lembut. Pendekatannya berbeda. Tapi semua itu didasarkan pada rahmat dan kasih sayang. Itu yg kemudian dilanjutkan dari sejak sahabat, tabi’in, dan para ulama, hingga sampai kepada Mbah Hasyim Asy’ari. Beliau punya dua orang anak buah yg berbeda: mBah Bisri yg streng dan mBah Wahab yg gampangan. Orang NU yg sedemikian banyak akhirnya punya pilihan: yg belum bisa ikut mBah Wahab, yg sudah bisa ikut mBah Bisri. Tapi manusia yg macam2 itu semua: yg hati2, yg ampeg, yang gampangan, mesti dilandasi dengan kasih sayang.
Makanya kalau saya ditanya tentang kriteria kiai itu apa, maka saya jawab: kiai itu:
الذين ينظرون إلى الأمة بعين الرحمة
Mereka ini kan hanya meniru Kanjeng Nabi Muhammad shallallahu ‘alayhi wasallam, yg beliau itu:
عزيز عليه ما عنتم حريص عليكم بالمؤمنين رءوف رحيم
Jadi yg dilakukan oleh para kiai itu hanya mencoba meniru apa yg dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alayhi wasallam. Tapi yg namanya meniru Kanjeng Nabi itu ya gak mungkin bisa persis meniru semua seperti Nabi. Kalau sama persis nanti dikira ada nabi kembar. Ada yg meniru cara peribadatannya; ada yg meniru model perjuangannya; ada yg meniru cara dakwahnya. Meniru apa saja. Kanjeng Nabi itu hebat dalam bidang apa saja: termasuk saat menjadi panglima.
Jadi, meskipun orang itu pakai serban sebesar ban truk, jenggotnya puanjang hingga pusar, tapi gak punya belas kasih kepada ummat, maka saya tidak sudi memanggilnya kiai. Sebaliknya, meskipun orang itu tidak berpenampilan kiai, tapi punya belas kasih kepada ummat, maka dia itu kiai.
Sama halnya bila ada orang yg merasa pinter, dan menyatakan bahwa orang yg ber-Islam itu harus dg merujuk langsung pada Qur`an dan Hadits. Ini orang yg juga tidak punya belas kasih terhadap orang awam. Bagaimana mungkin, sementara dia saja tidak becus membaca Qur`an, dan belum tentu paham dg apa yg dibacanya. Orang Arab sendiri belum tentu paham bila membaca Qur`an secara langsung. Sampeyan bandingkan dg kiai2 zaman dulu, seperti Imam Syafi’i dan sesudahnya, yg mereka membuat buku2 pintar, seperti Sulam, Safinah, Taqrib... Ulama seperti mereka itulah yg pantas mengkaji dasar al-Qur`an Hadits secara langsung. Tidak sembarangan. Jadi orang2 awam tinggal mengikut buku2 pinter yg sudah dibuat, daripada jika mereka disuruh melihat Qur`an sendiri, tentu akan malas (aras-arasen). Beliau2 para ulama itulah, dengan dilandasi kasih sayang, membantu orang awam memahami Islam.
Dengan melihat istiqomahnya Kiai Zainal, dalam ibadah, mengajar dan membimbing santri2, paling tidak kita bisa tahu dan mencontoh bagaimana perilaku Nabi. Kita tidak perlu melihat Nabi secara langsung. Saya sendiri kadang nglamun, seumpama saya hidup di masa Nabi, tentu saya merasa enak, karena tidak perlu membaca al-Qur`an, tidak perlu belajar banyak, sebab melihat sendiri sudah ada “Qur`an berjalan”. Jadi kalau mau perlu apa2 tinggal melihat Nabi:
bagaimana membina persaudaraan yg baik, melihat Kanjeng Nabi;
bagaimana memimpin ummat yg baik, melihat Kanjeng Nabi;
bagaimana perjodohan yg baik, ya melihat Kanjeng Nabi;
bagaimana bergaul dg orang tua, melihat Kanjeng Nabi;
bagaimana bergaul dg anak muda, melihat Kanjeng Nabi...
Semuanya tidak perlu membuka al-Qur`an dan tinggal melihat Kanjeng Nabi... Tapi kemudian tersirat pikiran waras saya, ya kalau saya ditaqdirkan ikut Kanjeng Nabi. Kalau ternyata saya ditaqdirkan ikut Abu Jahal?! Hehehe. Dah gak perlu melamun hidup di zaman Nabi. Kita hidup sekarang di zaman akhir seperti ini juga tidak apa-apa asal kita masih ikut dengan tuntunan Kanjeng Nabi...
Jadi semakin lama kita itu semakin sulit mencari contoh. Kalau kita itu rajin membaca al-Qur`an, mengerti maknanya al-Qur`an, kita gak nyari contoh itu gak papa. Kita tidak perlu banyak contoh bila kita sudah rajin membaca al-Qur`an dan mengetahui makna al-Qur`an. Tapi yg terjadi kan, kita itu gak punya contoh..., membaca al-Qur`an juga hanya ketika Bulan Romadlan... itu saja bacanya cepet2.
Kenapa kalau membeli televisi atau sepeda motor kita tidak perlu membaca buku panduannya. Padahal membeli barang2 seperti itu pasti ada buku tebal sebagai panduannya: kalau mau menghidupkan, tekan tombol yg bertuliskan “power”; bagaimana caranya memindah channel... Tapi saya yakin, panjenengan itu beli tivi atau motor itu tanpa pernah membaca buku panduannya. Lha kok bisa tahu dari mana? Ya, karena panjenengan sudah sering melihat orang menghidupkan tivi.
Demikian juga dulu para sahabat. Meskipun tidak membaca buku panduan, tapi mereka melihat dan meniru Kanjeng Nabi. Sesudah Kanjeng Nabi tidak ada, ya harus melihat para sahabat sebagai murid2 Kanjeng Nabi, dan seterusnya, sebagaimana diperintahkan oleh Kanjeng Nabi:
أصحابي كالنجوم، بأيهم اقتديتم اهتديتم
Demikian, semoga kita semua mendapatkan barokah Kiai Zainal, menjadi orang yg sholeh…