oleh
Ustadz Ahmad Sarwat
Sudah menjadi tradisi khususnya di beberapa lingkungan, misalnya di kalangan siswa dan guru di sekolah, bahwa pada setiap Hari Raya Idul Adha dilakukan penyembelihan hewan udhiyah, yang mana hewan itu didapat dengan cara membeli secara patungan dari seluruh siswa di sekolah itu.
Setiap siswa dipungut sepuluh ribu rupiah, maka dari 100 siswa akan terkumpul uang sebesar 1 juta rupiah. Cukup untuk membeli seekor kambing dengan ukuran seadanya. Kalau di sekolah itu ada 1.000 siswa, maka sekolah itu bisa membeli 10 ekor kambing.
Lalu pada Hari Raya Idul Adha seusai shalat, kambing-kambing itu secara bersama-sama disembelih dan dimasak di sekolah dan mereka pun makan daging kambing bersama-sama dengan para guru.
Pertanyaannya, apakah yang mereka sembelih itu sah disebut hewan udhiyah? Kalau tidak sah, lalu apa statusnya bila dilihat secara hukum fiqih?
Jawabannya tergantung dari bagaimana aturan dan akadnya. Kalau aqadnya benar, maka hewan yang disembelih itu sah sebagai hewan udhiyah. Sebaliknya kalau aturan dan akadnya tidak benar, maka hewan itu bukan hewan udhiyah.
1. Qurban Adalah Ibadah Individual Bukan Kelompok
Meskipun pengerjaannya bisa bersama-sama, namun yang perlu diperhatikan adalah bahwa ibadah penyembeliah hewan udhiyah ibadah bersifat individu, sebagaimana syariat zakat dan haji.
Mari kita ambil dua buah ilustrasi untuk memudahkan duduk masalahnya.
a. Zakat
Yang pertama, kita ambil contoh dalam masalah zakat. Ketentuan emas yang wajib dizakatkan adalah bila telah mencapai nishab, yaitu seberat 85 gram.
Kalau di dalam satu RT ada seratus kepala keluarga yang masing-masing memiliki emas seberat 1 gram, apakah ada kewajiban untuk mengeluarkan zakat? Apakah tiap orang harus dipotong emasnya 2,5% sehingga tinggal 0,975 gram?
Jawabannya pasti tidak. Tetapi kalau masing-masing ingin bersedekah dengan 0,975 gram emas, tentu tidak dilarang. Asalkan mereka tahu bahwa itu hanya sekedar sedakah dan bukan zakat.
Kenapa?
Karena kewajiban membayar zakat bersifat individu, bukan per-RT. Benar bahwa emas se-RT akan berjumlah 100 gram dan benar bahwa 100 gram emas sudah memenuhi nishab. Akan tetapi 100 gram emas itu bukan milik pribadi tapi milik 100 orang yang berbeda. Maka tidak ada kewajiban membayar zakat dari 100 gram itu bila emas itu milik 100 orang yang berbeda. Dan tidak sah bila dikeluarkan zakatnya.
b. Haji
Demikian juga dengan ibadah haji. Kalau 100 orang yang tinggal di satu RT masing-masing punya uang tabungan 350.000 rupiah, maka jumlah total uang se-RT itu memang 35.000.000 juta. Dengan uang itu bisa didapat satu porsi haji. Katakanlah uang itu diserahkan kepada pak RT untuk berangkat haji. Kira-kira setelah pulang kembali ke tanah air, yang disebut pak haji itu siapa? Pak RT ataukah ke-100 warganya semua dipanggil dengan sebutan pak Haji?
Jawabannya mudah, hanya pak RT saja yang dipanggil pak Haji. Kenapa? Karena yang mengerjakan ibadah haji hanya beliau. 100 orang warganya tidak pernah mengerjakan ibadah haji. Mereka bukan pak haji, tidak mendapat pahala haji, tidak dijamin mendapat surga.
Lalu uang 300 ribu itu apa judulnya?
Uang itu berstatus hadiah buat pak RT. Sekedar hadiah dan bukan apa-apa. Kalau mau lebih nekad, paling tinggi status uang 300 ribu itu hanya sampai batas sedekah atau infaq saja. Tidak akan membuat status 100 warga itu menjadi pak haji. Dan kewajiban mengerjakan ibadah haji buat mereka sama sekali belum gugur.
Maka demikian juga dengan penyembelihan hewan udhiyah, tidak dilakukan dengan cara berpatungan, melainkan dilakukan secara individu dan terpisah, meski pun dalam prakteknya, bisa dikerjakan bersama-sama, di lokasi yang sama, dengan pantia yang sama.
2. Makan Sate Bersama
Lalu bagaimana status hukum hewan udhiyah pada kasus patungan siswa-siswi sekolah di atas?
Kalau aturan dan akadnya tetap sebagai hasil patungan, maka statusnya bukan hewan udhiyah, melainkan sekedar acara makan sate bersama. Dimana waktu dan momen-nya ikut mendompleng dengan hiruk pikuk Hari Raya Idul Adha.
Tentu tidak ada kaitannya dengan ibadah dan taqarrub kepada Allah, apalagi mengharapkan pahala, tentu jelas tidak ada. Sebab ini bukan ibadah, ini adalah pesta makan-makan semata. Kalau mau kambing yang agak murah, sebaiknya membeli kambingnya setelah lewat Idul Adha. Toh ini bukan ibadah ritual, sehingga waktunya bebas dilakukan kapan saja, tidak ada aturan yang mengikat.
3. Hadiah Buat Guru
Namun menyembelih kambing itu bisa tetap bertatus ibadah udhiyah, dan acara makan sate bersama itu bisa tetap bernilai daging udhiyah, asalkan dengan ketentuan begini :
Uang yang dikumpulkan dari para siswa itu diniatkan sejak awal untuk memberi hadiah kepada salah seorang guru. Katakanlah guru yang paling mereka cintai atau guru teladan. Jadi setiap 100 siswa menghadiahi sepuluh ribu perak buat sang guru, sehingga totalnya menjadi 1 juta rupiah. Maka dalam hal ini ada beberapa ketentuan :
a. Uang Itu 100% Milik Pak Guru
Maka pak guru ini menerima uang hadiah sebesar 1 juta rupiah. Yang namanya penyerahan hadiah, berarti secara hukum, uang itu 100% sudah milik pak guru. Kalau kebetulan beliau berubah pikiran tapi tetap logis, misalnya dari pada buat beli kambing dan pesta makan sate, mendingan buat beli beras, bayar hutang dan melunasi tunggakan rumah kontrakan yang sudah tiga bulan, tentu saja tidak boleh ada yang protes.
Karena beliau sudah menjadi pemilik sah uang 1 juta. Dan yang namanya memberi hadiah, sifatnya harus ikhlas dan benar-benar total. Tidak boleh hadiah itu yang diberikan masih mengandung syarat ini dan itu.
Siswa tidak boleh protes apabila Pak Guru berpikir lebih baik uang itu ditabung saja, buat persiapan pensiun hari tua, maka itu menjadi hak preogratif beliau.
b. Kambing Itu Milik Pak Guru
Katakanlah misalnya dengan uang 1 juta perak itu pak guru memang berniat untuk membeli kambing untuk ibadah dirinya kepada Allah SWT, maka dagingnya tentu 100% milik beliau juga, bukan milik 100 orang muridnya.
Maka kalau beliau memandang bahwa akan jauh lebih bermanfaat bila daging kambing itu disedekahkan kepada fakir miskin yang benar-benar kekurangan yang tinggal di seputar rumahnya, maka itu pun 100% menjadi hak beliau sebagai pemilik kambing.
Keseratus siswa-siswinya tidak boleh nggerundel, alias marah-marah karena tidak jadi makan sate.
c. Pahala Untuk Pak Guru
Kalau kebetulan pak guru mau memanfaatkan uang hadiah itu untuk membeli seekor kambing, dan beliau mau mensedekahkan atau menghadiahkan dagingnya kepada siswa-siswinya, maka tentu berpahala besar.
Pertanyaannya, buat siapa kah pahalanya?
Jawabnya, tentu 100% buat pak Guru. Karena uang untuk membeli kambing 100% milik pak Guru. Kambingnya 100% kambing pak Guru. Ketika beliau menyembelih, tentu beliau mendapat pahala ritual penyembelihan. Dan ketika dagingnya beliau hadiahkan atau sedekahkan, maka pahalanya jelas-jelas buat pak Guru.
Lalu apakah 100 siswa-siswinya itu mendapat pahala?
Tentu dapat pahala, tapi pahala memberi hadiah buat pak guru, bukan pahala berqurban, apalagi bersedekah dengan daging hewan qurban.