oleh:
Ustadz Ahmad Sarwat
Keduanya punya banyak persamaan tetapi tetap ada perbedaan. Mari kita bedah satu per satu.
A. PERSAMAAN
1. Sama-sama hukumnya sunnah muakkadah menurut pendapat jumhur ulama, meski pun mazhab Al-Hanafiyah mewajibkannya dan mazhab Al-Hanabilah mengatakan fardhu kifayah.
2. Sama-sama disyariatkan di tahun yang sama, yaitu tahun kedua hijriyah.
3. Sama-sama dua rakaat, dimana rakaat pertama disunnahkan sebelum membaca surat Al-Fatiyah untuk membaca takbir 7 kali di luar takbiratul ihram, dan pada rakaat kedua takbir 5 kali di luar takbir intiqal.
وَعَنْ عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ قَالَ : قَالَ نَبِيُّ اللَّهِ التَّكْبِيرُ فِي الْفِطْرِ سَبْعٌ فِي الأولَى وَخَمْسٌ فِي الأخْرَى وَالْقِرَاءَةُ بَعْدَهُمَا كِلْتَيْهِمَا - أَخْرَجَهُ أَبُو دَاوُد وَنَقَلَ التِّرْمِذِيُّ عَنْ الْبُخَارِيِّ تَصْحِيحَهُ
Dari Amr bin Syu'aib dari ayahnya dan dari kakeknya radhiyallahu 'anhum berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda,"Takbir di shalat Iedul Fithri tujuh kali di rakaat pertama dan lima kali di rakaat yang kedua. Dan membaca ayat Al-Quran sesudah takbir pada keduanya” (HR Abu Daud)
4. Sama-sama tidak didahului dengan adzan atau iqamah. Hanya diserukan lafadz : Ashshalatu jamiah.
5. Sama-sama tidak didahului atau ditutup dengan shalat sunnah qabliyah atau ba'diyah.
6. Sama-sama diteruskan dengan khutbah, namun kedudukannya bukan syarat sah, tetapi sunnah. Seandainya seusai shalat tidak ada khutbah, shalat itu tetap sah di sisi Allah.
Dan keduanya berbeda dengan khutbah Jumat, yang merupakan rukun dari pelaksanaan shalat Jumat. Tanpa adanya khutbah, maka seluruh jamaah tidak sah shalatnya.
7. Sama-sama dihadiri oleh semua warga, baik laki-laki atau pun perempuan, baik dewasa maupun anak-anak, baik orang merdeka ataupun budak. Bahkan para wanita yang sedang haidh sekalipun tetap dianjurkan hadir.
عَنْ أُمِّ عَطِيَّةَ قَالَتْ : أُمِرْنَا أَنْ نُخْرِجَ الْعَوَاتِقَ وَالْحُيَّضَ فِي الْعِيدَيْنِ : يَشْهَدْنَ الْخَيْرَ وَدَعْوَةَ الْمُسْلِمِينَ وَيَعْتَزِلُ الْحُيَّضُ الْمُصَلَّى - مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ
Dari Ummu ‘Athiyyah Ra ia berkata: “Rasulullah SAW memerintahkan kepada kami untuk mengeluarkan hamba sahaya dan wanita haidh pada hari Iedul Fithri dan Iedul Adha, agar mreka dapat menyaksikan kebaikan dan undangan muslimin. Dan wanita yang haidh menjauhi tempat shalat. (HR. Bukhari dan Muslim)
8. Sama-sama dikerjakan oleh Rasulullah SAW beserta rakyat Madinah di luar kota Madinah, yaitu di padang pasir. Namun tetap dibolehkan bila dilakukan di dalam masjid, karena penduduk Mekkah tetap melakukannya di dalam masjid.
9. Sama-sama dilaksanakan di waktu dhuha dan tidak dilakukan bila telah lewat Dzhuhur. Kalau pun terlewat dan mau diqadha', waktunya keesokan harinya pada saat dhuha'.
Dari Abu Umair bin Anas bin Malik ia berkata: “Paman-pamanku dari kalangan Anshor yang termasuk sahabat Rasulullah SAW pernah menceritakan padaku: Mereka berkata,
“Hilal bulan Syawal pernah tertutupi sehingga kami tidak bisa melihatnya, kemudian besoknya kami melaksanakan shaum, kemudian menjelang sore datang sekelompok kafilah dan bersaksi di hadapan Nabi SAW bahwa mereka melihat hilal kemarin. Maka Rasulullah SAW memerintahkan mereka untuk berbuka dan pergi untuk melaksankan shalat Ied esok harinya” (HR. Abu Daud dan Ibnu Majah)
B. PERBEDAAN1. Shalat Idul Adha dianjurkan untuk dilaksanakan lebih awal atau lebih pagi dibandingkan shalat Idul Fithri. Dasarnya adalah hadits Nabi SAW :
َنَّ رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَتَبَ إِلَى بَعْضِ الصَّحَابَةِ : أَنْ يُقَدِّمَ صَلاَةَ الأْضْحَى وَيُؤَخِّرَ صَلاَةَ الْفِطْرِ
Bahwa Rasulullah SAW memerintahkan kepada beberapa shahabatnya untuk memajukan waktu shalat Adha dan mengakhirkan waktu shalat fithr. (HR. Asy-Syafi'i).
2. Sebelum shalat Idul Adha dianjurkan untuk 'berpuasa' terlebih dahulu, sejak shubuh hingga selesai shalat. Baru setelah itu disunnahkan makan, yaitu makan daging sembelihan.
Sedangkan shalat Idul Fithri dianjurkan untuk makan terlebih dahulu sebelum shalat. Habis makan baru shalat.