Oleh Ahmad Sarwat
Menjadi sosok ulama tentu bukan pilihan hidup yang banyak dipilih kebanyakan orang di zaman sekarang. Sebab profesi ulama -seharusnya- sama sekali tidak menjanjikan kekayaan duniawi.
Hal itu mengingat tujuan hidup para ulama memang tidak sebagaimana lazimnya manusia pada umumnya, yang biasanya lebih suka bekerja untuk mengumpulkan harta, baik dengan jadi pegawai atau pun lewat berbagai bisnis dan proyek.
Menjadi sosok ulama juga tidak setara dengan menjadi pesohor atau minta dipuja serta dimuliakan manusia. Tujuan menjadi ulama bukan sekedar bagaimana bisa tampil di televisi dan media.
Namun bagaimana caranya media itu bisa dijadikan sarana menyampaikan risalah langit dan menggiring manusia ke jalan Allah.
Sayang sekali kita terpaksa harus menyaksikan masih ada sosok-sosok ulama yang lemah dari sisi integritas dan idealisme, entah karena tidak tahan dengan godaan duniawi, atau memang kurang terlatih mentalitasnya. Sehingga menjadi ulama pengabdi penguasa zalim, atau sekedar menjadi tukang stempel dari penguasa.
Imam Ahmad bin Hanbal adalah ulama sejati tatkala beliau rela disiksa dan dipenjara, lantaran mempertahankan aqidah bahwa Al-Quran itu bukan makhluk. Sementara rezim yang berkuasa saat itu memuliakan ulama yang mau diatur dan tunduk, sebaliknya mereka menyiksa habis-habisan siapa pun ulama yang menentang kehendak penguasa.
Buya Hamka adalah ulama sejati tatkala dijelboskan ke penjara di masa rezim Soekarno, karena menentang kehendak penguasa. Dan sekali lagi, beliau juga tipe ulama panutan ketika di zaman Soeharto menolak untuk membuat fatwa bolehnya merayakan natal bersama, atas nama di Majelis Ulama Indonesia yang beliau pimpin saat itu. Dan beliau pun dengan gagah berani menyatakan untuk mengundurkan diri dari MUI, karena ditekan-tekan oleh penguasa saat itu.
Ustadz Rahmat Abdullah bukan ulama dalam arti ahli ilmu-ilmu syariah, beliau tidak pernah kuliah pada suatu jenjang pendidikan formal, tetapi beliau punya 'ijazah' dari guru beliau, yaitu KH. Abdullah Syafi'i. Beliau cukup intensif nyantri di Asy-Syafi'iyah berguru kepada para kiyai.
Beliau sendiri bilang kepada saya bahwa dirinya menolak disebut ulama, bukan semata-mata karena tawadhdhu' tetapi karena beliau mengakui untuk menjadi ulama itu bukan sekedar punya banyak murid dan pandai ceramah, tetapi harus melakukan penelitian mendalam atas suatu disiplin ilmu dan punya karya ilmiyah yang monumental.