Siapa yang tidak mengenal atau mendengar nama Kiai Abdulhamid? Rasanya sulit masuk di akal kalau sampai tidak pernah mendengar nama yang kesohor sebagai sosok ulama yang zahid dan rendah hati.
Beliau memiliki kepedulian kepada aksi Nahi Munkar dengan pendekatan kekeluargaan, persuasif, tanpa mengurangi subtansi usahanya dalam menyegah kemungkaran yang terjadi di depan matanya.
Suatu saat, dua orang bertamu ke kediamannya. Tampak seorang dari tamunya itu mengenakan cincin emas. Seperti kita tahu, laki-laki haram mengenakan emas, apapun bentuknya.
Kiai Abdulhamid mulai melancarkan aksinya. "Bagus benar cincin sampeyan (anda)," katanya sembari melihat bendanya.
"Oh, monggo...monggo (silakan)," ujar tamu dengan wajah berbunga karena cincinya mendapat perhatian dari sang kiai. Ia segera melepas cincinnya.
Kiai Hamid menerima cincin lalu mengamatinya dengan seksama. "Bagus sekali. Boleh saya ambil?"
Bukannya berat hati justru sikap sang tamu menunjukkan sikap ringan hati untuk membolehkan cincinnya berpindah tangan darinya. "Monggo, Yai," ujarnya penuh semangat.
"Ini sudah milik saya, ya?"
"Enggeh (iya)."
"Sekarang, saya titip pada sampeyan. Cincin ini sampeyan kasihkan kepada istri sampeyan. Jangan dipakai ya. Sampeyan masukkan ke saku saja. Kalau sudah sampai di rumah, berikan kepada istri sampeyan."
Usai bertamu, mereka berpamitan. Awalnya tamu yang mantan pengguna cincin emas ini tidak menyadari maksud dari isyarat sikap Kiai Hamid kepadanya. Akan tetapi, setelah dijelaskan oleh kawannya, dia menjadi mengerti bahwa memakai cincin emas itu haram bagi laki-laki.