Oleh: Ahmad Sarwat
Saya sudah lebih dari lima tahun mengajar di masjid itu, bahkan sampai sekarang ini masih rutin tiap pekan. Sebuah masjid yang lumayan besar dan jadi pusat aktifitas berbagai kalangan umat Islam.
Meski masjid ini dibangun oleh perusahaan tertentu, namun kebijakan pengurus dan pimpinannya cukup baik, yaitu pengurus membuka pintu buat siapa saja dan dari kalangan mana saja yang mau shalat dan juga mengajarkan ilmu agama di masjid itu.
Maka berbagai aliran dan kelompok umat Islam ikut meramaikan masjid itu. Ada salafi, PKS, HT, NU, Muhammadiyah, Persis, JT, NII, dan lainnya yang saya sendiri tidak hafal, saking banyaknya.
Para ustadznya pun sering ikut datang mengisi pengajian di masjd itu. Walaupun memang masih saja terpecah dalam waktunya. Kalau yang ngisi dari NU misalnya, maka yang salafi tidak ikutan. Kalau yang ceramah dari salafi, masjdnya dipenuhi cuma oleh kelompok salafi saja, yang datang dari begitu banyak tempat yang jauh.
Pengurus masjid cukup kreatif dan rajin. Mereka punya daftar ustadz yang pernah mengisi di masjid itu. Karena memang semua didata, dan jumlahnya lumayan banyak juga entrinya.
Database para ustadz itu kemudian dibundel dan dijilid, cukup tebal juga. Bahkan sering dimanfatkan oleh pengurus masjid lain, kalau mereka butuh untuk menghubungi ustadz-ustadz tertentu.
Suatu hari secara iseng saya membolak-balik buku database ustadz itu. Wah keren juga. Ternyata di dalam database itu ada banyak kolom yang menyimpan data-data para ustadz, mulai dari T/Tgl lahir, alamat, latar belakang pendidikan, data keluarga, telepon rumah dan HP, dan lainnya.
Tapi ada kolom yang unik, yaitu kolom yang judulnya AFILIASI. Yang mengisi kolom ini cuma pengurus, mungkin maksudnya untuk mengidentifikasi afiliasi dari masing-masing ustadz.
Yang lucu, di kolom nama saya yang tercantum disitu, tidak tertulis data afiliasi sebagaimana yang lainnya. Secara bercanda saya sempat tanyakan, kok kolom afiliasi saya kosong nih, nggak ada isinya?
Ditanya begitu para pengurus bukannya menjawab tetapi malah pada tertawa. Lho kok tertawa gitu? tanya saya.
Mereka bilang awalnya mereka sempat berdebat internal dalam menetapkan kemana afiliasi saya ini. Setelah dikaji panjang lebar, ternyata dalam penilaian mereka saya ini tidak jelas afiliasinya. Ini bukan dan itu bukan. Akhirnya mereka sepakat untuk mengosongkan saja, karena tidak jelas afiliasinya.
"Oh gitu ya", saya cuma bengong. Wah, berarti dalam pandangan mereka saya ini tidak jelas afiliasinya. Tetapi saya pikir-pikir iya bener juga sih.
"Tetapi untuk boleh mengajar ilmu agama, kan tidak harus punya afiliasi dulu kan?", saya tanya lagi.
"Ya nggak lah ustadz, toh buktinya sampai hari ini kita masih ngaji sama antum di masjid ini, walaupun antum tidak jelas afiliasinya. Kan afiliasi itu tidak ditanya di hari kiamat atau di alam kubur, bukan begitu ustadz?", jawab mereka.
"Ya iya sih", jawab saya sekenanya.
Tapi dalam hati saya mikir, halah pengurus ini ada-ada saja . . .